
JEJAK LANGKAH KEMARIN
Titik Awal
Buah karya Birawa Noraga, S.Pd.
Disunting oleh Edy Susanto, S.Pd.
Mentari Januari 2016 malu-malu menampakkan sinarnya pagi itu. Menyapaku usai aku tersadar dari mimpiku tadi malam. Entah mimpi apa aku semalam, semua berlalu begitu saja. Meski sedikit mengantuk aku memantapkan diri untuk bergegas beranjak dari tidurku dan kemudian seperti biasa ibu menyiapkan sarapan untuk kami pagi ini. Sungguh masakan ibu tiada tandingnya. Apa kau ingat kapan terakhir ibu memasakkan sesuatu untukmu?
Ah …… aku jadi rindu pada ibu. Bu… apa kabar? Sedang apa kau sekarang? Sudah berdoa pagi ini, Bu? Yakinku pasti sudah kau lakukan wajibmu dan semakin kuat keyakinanku karena pasti ada namaku dalam doamu. Teringat dalam hati aku tak akan bisa seperti ini jika tanpa doamu. Jaga diri baik-baik, Bu. Jangan bekerja terlalu berlebihan. Jika lelah istirahatlah sejenak. Toh padi dan kebun karetmu tak pernah menghianati dan pergi berlalu dari pelukmu. Jangan beranjak bekerja sebelum mentari menyapa dengan senyum sipunya, Bu. Nanti jika aku sudah pulang dari perantauanku kita nikmati kopi di teras rumah kita ya, Bu. Jangan lupa buatkan teh untuk Bapak. Hmmm, andai Bapak masih ada ya, Bu.
Hari ini aku diajak oleh teman-temanku bertemu dengan alam. Aku bertanya pada mereka, kita mau kemana dan mereka menjawab Sungai Sentarum. Pikirku akan sangat rugi jika menolaknya. Akupun bersiap seadanya. Membawa bekal mie goreng dan telur dadar buatan Ibu dan tidak lupa ada nasi. Maklum saja lidah Indonesia, tidak akan makan jika tidak ada nasi. Kemudian aku membawa pakaian seadanya serta handuk karena pasti kami akan mandi disana. Setelah semuanya siap aku langsung memasukkan barang-barang ke dalam tas ransel yang biasa kupakai untuk membawa alat tulis dan buku. Kupikir sudah cukup siap untuk melakukan perjalanan panjang hari ini. Tapi, ternyata?
Setelah semuanya berkumpul di titik awal kami menyatukan hati untuk berdoa terlebih dahulu. Bagi kami dan terutama bagiku sendiri doa adalah nafas dalam hidup. Doa adalah cara terampuh bagi kita sebagai ritual berbincang mesra dengan Sang Tuhan. Ingatlah teman, doa bukan hanya sebagai sarana meminta dan bersyukur pada Pencipta. Pencipta juga rindu untuk bersenda gurau denganmu. Hari ini kau sudah bergurau dengan-Nya? Atau setidaknya menyapa-Nya hari ini? Kuharap sudah kau lakukan itu, teman.
Doapun usai dan kami bergegas untuk berangkat menggunakan kendaraan roda dua. Awan gelap dan rintik-rintik hujan mengiringi langkah kami menuju salah satu surga tersembunyi di alam kalimantan Barat. Kami sempat berpikir apakah bisa sampai kesana dengan cuaca seperti ini yang kami rasa alam enggan bersahabat dengan kami karena murung mukanya hari itu. Namun, karena kami sudah bertekad harus sampai kesana maka kamipun berani mengambil risiko. Maklum semangat muda masih sangat melekat dalam benak kami. Dan benar saja, ditengah perjalanan kami dihadang oleh hujan lebat dan hampir membasahi seluruh tubuh kami. Untung saja kami lekas berteduh disebuah warung kecil. Dinginnya cuaca pada saat itu sedikit mengacaukan suasana hati kami. Tak terpungkiri terlihat jelas dari raut wajah teman-temanku yang aku tahu dalam hati mereka menggerutu sangat marah. Namun, salah satu temanku mencoba mencairkan suasana dan seketika pecah dengan humor garing yang dia lakukan. Tawa kamipun hadir seketika dan kami kembali bersemangat melanjutkan langkah kami.
Di tengah perjalanan kami melihat matahari mengintip dibalik bukit di sebelah kiri yang jaraknya cukup jauh dari arah kami. Pertanda bahwa hari berangsur cerah membuat semangat semakin bertambah. Kegelisahan kami sepanjang perjalanan tadi berubah menjadi harapan. Ah …hh, hati kami seakan dipermainkan rasanya. Pikirku mungkin alam sedikit menguji kami dengan permainannya dan dia sukses menggelisahkan serta membuat kami berharap. Hmmm bercandanya buatku sulit mngungkapkan kata.
Enam jam perjalanan kami tempuh dengan peluh dan cemas ditengah hujan dan panas yang bergantian menggundahkan kami. Setelah alam sukses mempermainkan kami, dia kemudian memberi hadiah indah hari itu. Kami diantarnya ke sebuah tempat yang sedari tadi kami perbincangkan dengan penasaran seperti apakah rupa parasnya. Dan ternyata, ohhhh Tuhaaaannn begitu indahnya pemberianmu. Kami disambut oleh gemuruh air yang berjatuhan dari atas ketinggian. Kejernihan air yang mampu menyegarkan dahaga serta jiwa kami membuat kami ingin segera menikmatinya. Dan kau tahu, aku melihat kupu-kupu yang terbang dengan bebas disekelilingku. Sudah lama rasanya aku tak pernah melihatnya menari-nari disamping rumahku. Dan kali ini aku bertemu lagi dengan indah warna serta lembut sayapnya yang mengepak. Aku dibuat semakin bahagia karena dia hinggap dipundak kananku seakan dia sedang berbisik “terimakasih sudah datang”. Adanya kupu-kupu dalam suatu tempat menandakan bahwa tempat tersebuh masih alami dan asri karena kupu-kupu menyukai suasana yang segar dan alami dan aku teramat yakin bahwa tempat ini masih sangat alami.
Sungai sentarum menjadi titik awal perjalanan kami. Jernihnya menembus pandangan kami hingga ke dasar sungai. Tak ayal kami sesekali bisa memanjakan mata menyaksikan kilauan emas yang menyilaukan mata kami kala menatap ke arahnya. Namun, himbauan dari masyarakat untuk tidak mengambil emas yang ada disana harus kami indahkan. Sebab, menurut keyakinan mereka jika ada yang mengambil akan terjadi petaka terhadapnya. Kamipun mengindahkan himbauan dari masyarakat setempat karena menurut kami kepercayaan dan adat istiadat memang perlu dijaga karena inilah nilai kearifan bagi masyarakat kita.
Usai bersenda gurau dan saling menyapa antara kami dan keindahannya, kamipun bergegas untuk mengakhiri pertemuan indah di sana. Kami segera pulang. Namun, sebelum pulang kami punya prinsip yaitu “jangan tinggalkan sampahmu, bawalah pulang”. Maka dari itu kami mengumpulkan sampah dan sisa makanan kemudian kami bawa pulang atau ditengah perjalanan jika menemukan tempat pembuangan sampah maka kami akan membuangnya. Alam memberi kita keindahannya maka sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikannya. Sebuah simbiolis mutualisme antara persahabatan kita dengan mereka. Apa kalian membawa sampah kalian pulang? Sudahkah kalian menjaga alam negeri dengan hal kecil seperti ini? Ayolah teman. Ini tak sulit bagimu.
Kami pulang membawa rindu yang kami jaga untuk mereka yang menanti kami dengan cemas. Terang saja ini titik awal kami melakukan hal semacam ini sudah pasti mereka menanti dengan kekwatiran. Bermodalkan tekat dan ambisi yang kami bawa kesana, kami membawa pulang rindu pada rumah dan teristimewa isi insan didalamnya. Tas ransel seadanya, sepatu santai yang sebenarnya tidak direkomendasikan untuk digunakan menuju alam dengan kontur tanahnya yang licin dan berlumpur. Kami rasa kami salah kostum ucap salah satu teman dan disambut oleh tawa bersamaan. Setibanya dirumah, aku disambut oleh bapak dan ibu yang sedari tadi menanti dengan cemas. Ah …h, aku seperti anak kecil saja. “Pak.. Bu.. aku sudah dewasa” gumamku dalam hati.
Sungai Sentarum, awal langkahku bertemu teman baru. Titik awalku bisa berbicara bercanda dengan Sang Tuhan dan alam semesta meski hanya satu arah. Kemesraan yang kami jalin begitu indah. Aku mulai jatuh cinta padanya. Semoga kita dapat bertemu di lain waktu. salamku untuk kalian disana. Kupu-kupu, jaga dirimu baik-baik. Rumahmu begitu istimewa buatku. Kuharap kita dapat bertemu lagi meski ditempat yang berbeda. Dimulai dari sinilah perjalanan cinta terhadap keindahan Alam Indonesia yang ada di Kalimantan Barat. Kunantikan kemana lagi langkah kaki mengajakku ke tempat-tempat yang indah akan pesonanya. Kutunggu senyummu wahai alamku. Salam damai.